Bookmark and Share

Saturday, December 12, 2009

Seperti yang Kumiliki


"Apa yang kamu simpan untuk dirimu sendiri akan lenyap, apa yang kamu berikan pada orang lain akan kamu miliki selamanya"


Hari Natal tinggal dua minggu lagi, tetapi aku harus berada di rumah sakit untuk memulihkan kesehatanku setelah menjalani operasi. Natal itu merupakan Natal pertama kalinya bagi keluargaku di Minnesota, dan aku ingin menjadikannya penuh kenangan, tetapi tidak dengan cara seperti ini.

Selama berminggu-minggu aku tidak menghiraukan rasa sakit di bagian tubuhku, tetapi ketika rasa sakit itu semakin parah, aku datang ke dokter. “Batu empedu”, kata dokter, sambil memandang sinar X. “Cukup untuk membuat sebuah kalung. Anda perlu segera dioperasi.”
Meskipun aku protes bahwa saat itu merupakan waktu yang sama sekali tidak menyenangkan untuk berada di rumah sakit, rasa sakit yang menggerogoti diriku meyakinkan aku untuk menjalani operasi, sesuai dengan anjuran dokter.
Suamiku, Buster, meyakinkan aku bahwa dia bisa menangani semuanya dirumah, dan aku menelepon beberapa sabahat untuk minta bantuan agar anak-anakku bisa menumoang mereka. Banyak hal lainnya, kue Natal, belanja, dan dengan dekorasi harus menanti.
Aku berusaha keras untuk membuka kedua mataku setelah tidur selama dua hari di rumah sakit setelah menjalani operasi. Ketika aku menjadi lebih sadar, aku melihat sekelilingku yang tampak seperti sebuah toko bunga Natal. Bunga poinsetia merah dan banyak buket lainnya memenuhi kusen jendela. Setumpuk kartu menunggu untuk dibuka. Di sebuah meha di sisi tempat tidurku berdiri sebuah pohon kecil yang diberi ornamen yang telah dibuat oleh anak-anakku. Rak di atas bak cuci penuh dengan mawar merah dari kedua orangtuaku di indiana dan sebuah kayu Natal dengan banyak lilin dari para tetangga. Aku merasa begitu gembira oleh semua cinta dan perhatian yang sangat besar itu.
Mungkin berada di rumah sakit pada hari-hari Natal bukanlah suatu hal yang sama sekali buruk, pikirku. Suamiku berkata bahwa teman-teman telah membawa makanan ke keluarga kami dan menawarkan untuk mengurus kempat anak kami.
Di luar jendela, salju yang tebal mengubah kota kecil kami menjadi sebuah negeri ajaib musim dingin. Anak-anak pasti menyukai suasana seperti ini, demikian pikirku ketika aku membayangkan mereka mengenakan pakaian tebal penahan salju untuk membuat manusia salju di halaman belakang, atau bermain ski dilapangan es terbuka di sekolah Garfield.
Apakah mereka juga akan melibatkan Adam, anak kami yang cacat? Aku sangsi. Pada usia lima tahun, dia baru bisa berjalan sendiri, dan aku selalu merasa khawatir tentang dirinya yang berputar-putar di atas lapisan es dan salju dengan pergelangan kakunya yang kecil. Apakah seseorang bersedia mengajaknya naik kereta luncur di sekolah?
“Bunga lagi!” Suara seorang perawat membuatku terkejut ketika dia memasuki kamarku dengan membawa sebuah centerpiece (perhiasan di tengah-tengah meja) yang indah. Dia memberikan kartunya kepadaku saat dia mencari tempat untuk buket yang dibawanya diantara bunga poinsetia di kusen jendela.
“saya kira kamu harus memulangan Anda,” katanya menggodaku. “Habis di sini tidak ada tempat kagu untuk menaruh bunga!”
“Buat saya sih ngakk masalah,” kataku setuju.
“oh, hampir saja saya lupa ini.”
Dia mengambil lebih banyak lagi kartu dari sakunya dan meletakannya di atas nampan. Sebelum meninggalkan ruangan, dia menarik gorden berwarna hijau pucat sebagai penyekat di antara dua tempat tidur.
Saat aku membaca kartu-kartu yang berisi ucapan semoga lekas sembuh, aku mendengar, “Yep, saya suka bunga-bunga itu.”
Aku mendongak untuk melihat wanita di tempat tidur disampingku yang menarik gorden ke samping sehingga dia bisa melihat dengan lebih jelas. “Yep, saya suka bunga-bunga itu,” dia mengulanginya lagi.
Temanku satu kamar adalah seorang wanita bertubuh mungil berusia sekitar 40-an ang menderita sindrom Down. Rambutnya pendek, keritig, sudah beruban, dan matanya berwarna coklat. Pakaian pasiennya dibiarkan tergantung tanpa diikat di lehernya, dan ketika dia bergerak maju punggungnya yang terbuka kelihatan. Aku ingin sekali mengikatnya, tetapi aku tidak bisa karena masih diinfus. Dia memandangi bunga-bunga yang kuterima dengan pandangan takjub seperti kanak-kanak.
“Nama saya Bonnie,” kataku kepadanya. “Siapakah nama Anda?”
“Ginger,” jawabnya, mengarahkan pandangannya ke langit-langit dan megatupkan kedua bibirya rapat-rapat setelah mengucapkan kata itu. “Dokter akan menyembuhkan kaki saya. Saya dioperasi besok.”
Aku dan Ginger berbicara hingga waktu makan malam tiba. Dia bercerita kepadaku tnetang panti werda di mana dia tinggal dan betapa inginnya dia kembali ke sana saat pesta Natal. Dia tidak pernah menyebutkan tentang keluarga, dan aku tidak menyebutkan tentang keluarga, dan aku menanyakannya. Setiap kali dia mengingatkanku akan operasi yang akan dijalaninya yang dijadwalkan keesokan harinya.“Dokter akan menyembuhkan kaki saya,” begitu yang selalu dikatakannya.
Malam itu ada beberapa orang yang menjengukku, termaksud anak laki-lakiku Adam. Ginger bercakap-cakap penuh suka ria dengan mereka, mengatakan kepada setiap orang tentang bunga-bungaku yang indah. Tetapi yang paling sering dia selalu memandangi Adam. Dan, setelah semua orang pulang, Ginger selalu mengulangi lagi dan lagim persis seperti apa yang dia katakan tentang bunga-bungaku, ”Yep, saya suka Adam anakmu.”
Keesokan harinya Ginger meninggalkan kamar untuk menjalani operasi, dan perawat datang untuk membantuku berjalan-jalan sebentar ke ruang utama. Menyenangkan sekali rasanya sudah agak sehat dan bisa berjalan.
Tidak lama kemudian aku kembali ke kamaraku. Ketika aku berjalan memasuki pintu, perbedaan yang begitu mencolok antara dua sisi ruangan membuatku banyak memikirkannya. Ruangan Ginger begitu rapi, menunggunya kembali. Sedangkan ruanganku penuh dengan bunga, dan tumpukan kartu dengan ucapan semoga lekas sembuh mengingatkanku betapa aku dicintai oleh banyak orang
Tidak ada seorang pun yang mengirimi Ginger kartu atau bunga. Kenyataannya, tak seorang pun menelepon dan menjenguknya.
Apakah ini yang akan terjadi pada Adam suatu hari nanti? Aku tidak tahu, dan aku segera menepiskan pikiran seperti itu.
Aku tahu, aku memustuskan. Aku akan memberikan sesuatu milikku kepadanya.
Aku berjalan menuju jendela dan mengambil ornamen utama dengan lillin berwarna merah dan untaian holly (sejenis tumbuh-tumbuhan yang hijan dan runcing daunya, dan buahnya merah bergugus-gugus). Tetapi bunga ini akan tampak indah sekali di meja makan Natal kami, pikirku, ketika aku meletakkannya kembali. Bagaimana dengan bunga poinsetia? Lalu aku menyadari betapa bunga berwarna merah tua itu akan membuat cerah gapura rumah kami yang dibangun pada awal tahun 1900-an. Dan, tentu saja, aku tidak bisa memberikan mawar yang dikirimkan oleh ayah dan ibu kepadanya, karena aku tahu kami tidak akan bertemu dengan mereka Natal tahun ini, begitu pikirku.
Pembenaran itu terus saja terjadi: bunga-bunga itu mulai layu; teman ini akan tersingung; aku benar-benar akan bisa memanfaatkannya apabila sudah sampai rumah. Aku tidak bisa berpisah dari apa saja. Lalu aku kembali naik ke tempat tidur, mencoba menghilangkan rasa bersalah naik ke tempat tidur, mencoba menghilangkan rasa bersalahku dengan sebuah keputusan untuk menelepon toko hadiah rumah sakit saat mulai buka di pagi hari dan memesan bunga untuk ginger.
Ketika Ginger kembali dari operasi, petugas rumah sakit membawakannya sebuah buket bunga Natal kecil berwarna hijau dengan pita berwarna merah. Dia menggantungkannya di tembok kosong berwarna putih di atas tempat tidur Ginger. Malam itu leih banyak lagi orang yang datang mengunjungiku, dan meskipun Ginger sedang beristirahat karena baru saja di operasi, dia memberi salam kepada setiap orang dan dengan bangga menunjukkan kepada mereka buket Natal yang dimilikinya.
Setelah makan pagi keesokan harinya, perawat masuk kembali ke ruangan kami untuk memberi tahu Ginger bahwa dia boleh pulang. “Mobil dari pandti werda sedang dalam perjalanan ke sini untuk menjemput Anda,” katanya.
Aku tahu bahwa waktu tinggal di rumah sakit yang hanya sebentar itu berarti dia akan berada di panti untuk merayakan pesta Natal. Aku merasa senang untuknya, tetapi aku merasa bersalah ketika aku ingat bahwa toko hadiah rumah sakit tidak akan buka hingga dua jam lagi.
Sekali lagi aku mengedarkan pandangan melihat bunga-bungaku. Bisakah aku berpisah dari salah satu bunga-bunga ini?
Perawat membawa kursi roda ke sisi tempat tidur Ginger. Ginger mengumpulkan beberapa benda milik pribadinya dan menarik jaketnya dari gantungan yang ada dilemari.
“saya betul-betul senang berkenalan dengan Anda, Ginger,” kataku kepadanya. Aku mengucapkannya dengan tulus, tetapi aku merasa bersalah karena tidak mewujudkan maksud baikku.
Perawat membantu Ginger mengenakan jaketnya dan memapahnya ke kursi roda. Lalu dia mengambil buket kecil itu dari paku di tembok dan memberikannya kepada Ginger. Mereka menuju ke pintu untuk meninggalkan ruangan ketika tiba-tiba Ginger berkata, “Tunggu sebentar!”
Ginger turun dari kursi rodanya dan berjalan tertatih-taih ke tempat tidurku. Dia mengulurkan tangan kanannya dan dengan lembut meletakan bucket kecil itu di pangkuanku.
“Selamat Hari Natal,” katanya. “Anda Sungguh baik.” Lalu dia memelukku dengan erat.
“Terimakasih, “ sahutku lirih.
Aku tidak bisa mengatakan apa-apa lagi ketika dia kembali berjalan tertatih-taith ke kursi rodanya dan bergereak menuju ke pintu.
Dengan mata berlinang aku menatap buket kecil kini berada di tanganku. Satu-satunya hadiah untuk Ginger, pikirku. Dan dia meberikan kepadaku.
Aku memandang tempat tidurnya. Sekali lagi, ruangannya kosong dan tidak ada apa pun. Tetapi ketika aku mendengar bunyi pintu elevator menutup di belakang Ginger, Aku tahu bahwa dia memiliki banyak, jauh lebih banyak yang kumiliki.

Pelajaran yang dapat diambil adalah bagaimana kita dapat memberikan milik kita dengan penuh kasih, walaupun sesuatu yang kita berikan adalah satu-satunya barang/sesuatu yang kita punya.

By: Bonnie Shepherd



No comments:

Post a Comment

 
© Copyright 2010 Hengkychou - Presents :: Contact Person: Yahoo Messenger: zhouxianxi@yahoo.com